Join me in best community & be healthy

Jangan percaya mesin pencari uang otomatis, karena mereka hanya memanfaatkan rasa ingin tahu dan sifat coba-coba para pengguna pemula internet dan mereka yang malas dan instan dalam meraih kekayaan. Dipastikan mereka tak mencantumka alamat kantor,meskipun kantor mereka rumah tinggal, tapi hanya nomor GSM

Thursday, September 23, 2010

HUKUM SEPUTAR LEASING

Secara faktual, leasing merupakan suatu akad untuk menyewa sesuatu barang dalam kurun waktu tertentu. Leasing dikategorikan menjadi operating lease dan financial lease. Operating lease merupakan suatu proses menyewa suatu barang untuk mendapatkan hanya manfaat barang yang disewanya, sedangkan barangnya itu sendiri tetap merupakan milik bagi pihak pemberi sewa. Sewa jenis pertama ini sama dengan konsep ijarah (sewa menyewa) dalam syariat Islam yang diperbolehkan dan tidak ada masalah. 

Sedangkan financial lease merupakan suatu bentuk sewa dimana kepemilikan barang tersebut berpindah dari pihak pemberi sewa kepada penyewa. Bila dalam masa akhir sewa pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut tetap merupakan milik pemberi sewa (perusahaan leasing). Akadnya dianggap sebagai akad sewa. Sedangkan bila pada masa akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi cicilannya maka barang tersebut menjadi milik penyewa. Intinya, dalam financial lease terdapat dua proses akad sekaligus: sewa sekaligus beli. Dan inilah sebabnya mengapa leasing bentuk ini disebut sebagai sewa-beli.

Berdasarkan fakta di atas, nampak bahwa dalam sewa-beli terdapat dua bentuk muamalah yang berbeda dalam satu proses yang bersamaan. Sewa sekaligus beli. Sampai di sini terdapat minimal dua persoalan yang memerlukan perhatian, yaitu perbedaan sewa dan beli, serta kedudukan dua akad sekaligus dalam suatu proses muamalah.

Pertama, perbedaan sewa dan beli. Dalam hukum muamalah Islam sangat berbeda antara sewa dengan beli. Sewa (ijarah) merupakan suatu akad untuk mendapatkan suatu manfaat dari barang, jasa, ataupun orang dengan adanya kompensasi tertentu, biasanya berupa uang (‘aqdun ‘alal manfaat bi ‘iwadh). (Lihat Fikih Sunnah bab Ijarah, karya Sayyid Sabiq).  Jadi, pihak penyewa mendapatkan hanya manfaat yang dikandung oleh barang yang disewanya. Adapun barangnya itu sendiri tetap merupakan hak milik pihak pemberi sewa.

Hal ini berbeda sekali dengan jual beli. Secara syar’iy, jual-beli (al bai’) merupakan mubadalatu malin bi malin tamlikan wa tamallukan ‘ala sabilit taradhi, yaitu pertukaran antara suatu barang dengan barang lain (termasuk uang) untuk pertukaran kepemilikan di atas dasar saling meridhoi satu sama lain. Berdasarkan hal ini, barang dari pihak penjual akan menjadi milik dari pihak pembeli. Sebaliknya, uang atau barang (bila barter) dari pihak pembeli akan langsung menjadi milik pihak penjual. Proses jual-beli ini, tentu saja, dapat kontan dan bisa pula dilakukan dengan cicilan (kredit). Jelaslah, perbedaan mendasar antara sewa dengan beli terletak pada siapa yang berhak memiliki barang pada akhir masa transaksi. Dengan demikian, akad yang terjadi antara sewa sangat berbeda dengan akad pada jual-beli. Akad sewa berkonsekuensi pada tetap dimilikinya barang oleh pihak pemilik barang, sedangkan pihak penyewa hanya boleh memanfaatkan barang tersebut selama masa penyewaan. Sedangkan akad jual-beli berujung pada pertukaran kepemilikan dari penjual ke pembeli dan dari pembeli ke penjual.

Kedua, Rasulullah SAW melarang dua akad berbeda terjadi dalam satu aktivitas muamalah. “Rasulullah SAW melarang (kaum muslimin) dua akad dalam suatu proses akad tertentu“, (HR. Imam Ahmad).

Hadits ini maksudnya adalah tidak boleh seseorang melakukan dua akad berbeda dalam suatu proses muamalah tertentu. Tidak boleh, misalnya, seseorang menyatakan: ‘Saya menjual rumah ini pada Anda dengan catatan Anda menikahkan putri Anda kepada saya’, atau ‘Saya menjual barang ini dengan harga 15 juta rupiah pada Anda dengan cicilan selama 3 tahun, tetapi jika di tengah jalan Anda tidak dapat melunasinya maka barang tersebut tetap menjadi milik saya dan uang yang telah Anda berikan dianggap sebagai sewa barang selama Anda menggunakannya.’ Di dalam muamalah tadi terdapat dua akad sekaligus, menjual rumah sekaligus menikahi putri pembeli rumahnya dengan hanya satu akad, dan jual-beli sekaligus sewa dalam satu akad tertentu. Semua ini bertentangan dengan hadits Rasulullah SAW di atas.

Berdasarkan keterangan ini nampak jelas bahwa dalam muamalah financial leasing terdapat dua akad sekaligus dalam satu proses muamalah tertentu. Padahal, menurut syariat Islam, bila akad yang terjadi sewa maka tetap berlaku sewa sampai batas akhir waktu penyewaan. Demikian pula, suatu akad jual-beli tetap sebagai jual beli. Andaikan jual-beli itu dilakukan dengan sistem kredit dan pihak pembeli belum dapat melunasi seluruh utang pembeliannya pada waktu yang telah disepakati, akad tersebut tetap jual-beli dan tidak dapat dialihkan menjadi akad apapun, termasuk diubah menjadi akad sewa.

Selain itu, bila dilihat dari realitasnya, muamalah jenis ini nampak mengunggulkan pemberi sewa (perusahaan leasing) dibandingkan dengan penyewa. Terlebih-lebih bila pihak pembeli merasa mencicil barang dengan harga ‘pembelian’. Di tengah jalan, karena sesuatu hal, ia tidak mampu melunasinya. Maka perusahaan akan mengambil barang tersebut dan konsumen tidak mendapatkan apa-apa.

Persoalan leasing menjadi bertambah bila dalam cicilannya itu melibatkan bunga (riba). Termasuk adanya denda atau bunga telat bayar per hari  jika konsumen terlambat dalam membayar cicilan. Semua itu telah telah diharamkan oleh Allah SWT melalui firman-Nya: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli serta mengharamkan seluruh riba” (QS. Al Baqarah [2] : 275).

Kesimpulannya, praktik leasing seperti yang saudari tanyakan dan saat ini marak di tengah-tengah masyarakat hukumnya adalah haram. Oleh karena itu masyarakat harus beralih dari sistem leasing ribawi tersebut ke sistem alternatif yang manfaat dan kegunaannya sama, tetapi sah menurut syari’at Islam. Wallahu a’lam bi shawab.

No comments:

Post a Comment

Silahkan dikomentari..

Blog Archive